Kamis, 28 Juli 2016

SUASANA CAMPUR ADUK SAAT WISATA KE LOMBOK, INDONESIA


Lombok, 25 Juli 2016

Pada bulan Juli 2016, saya bersama suami berkesempatan untuk berlibur ke Lombok, sebuah tempat wisata yang terkenal, baik di Indonesia maupun secara internasional. Saya menempuh perjalanan dari Puncu, Kediri, Jawa Timur menuju Bandar udara internasional Juanda, Surabaya menggunakan beberapa trnasportasi. Dari rumah ke terminal Pare, saya menggunakan sepeda motor dan menitipkannya di sebuah penitipan sepeda motor. Dari Pare menuju Surabaya, saya naik bis patas, Rukun Jaya, rute Blitar - Surabaya. Selama berada di terminal Pare, saya melihat beberapa orang yang dengan bebas merokok di tempat umum. Saya beruntung karena dapat naik bis patas, meski laju kendaraan tetap pelan, bebas rokok. Sesampainya di terminal Purabaya, Surabaya, saya sedikit bingung mencari bis Damri yang akan menuju ke bandara Juanda, Surabaya. Saya bermaksud ingin menerapkan skills traveling saya ketika di Amerika, yaitu meminimalisir bertanya, namun nampaknya gagal. Terminal Purabaya tidak menyediakan tanda yang lengkap bagi penumpang yang ingin bepergian ke bandara Juanda. Saya sempat bertanya ke beberapa petugas dimana saya dapat menemukan bis Damri. Beberapa petugas mengarahkan saya bahwa saya perlu “kesana sedikit” dari tempat penurunan penumpang.  Sepemahaman saya, “kesana sedikit” dapat mengarah ke kiri dan ke kanan, utara selatan barat dan timur. Setelah beberapa kali berputar, akhirnya saya memutuskan untuk bertanya lagi kepada seorang penjual makanan dan minuman. Dari orang tersebut saya berhasil menemukan lajur bis Damri. Ternyata, saya hanya perlu ke arah utara atau selang 3 jalur dari tempat penurunan penumpang. Lagi – lagi, saya menemukan budaya Indonesia yang masih jauh tertinggal dari bangsa lain, yaitu budaya antri. Untuk mengantri tiket bis Damri, para calon penumpang sikut sana dan sini untuk berusaha menjadi yang pertama. Ketika bis datang, pemandangan yang sama juga terjadi. Calon penumpang yang akan naik sangat tidak memiliki kesabaran untuk naik meski mereka tahu bahwa banyak sekali para penumpang yang berusaha ingin turun. Alhasil, suasana berdesak-desakan pun terjadi. Sesampainya saya di bandara Juanda, saya menuju ke tempat check in pesawat. Selama perjalan menuju tempat tersebut, saya menemukan banyak sekali orang merokok di tempat yang tidak seharusnya boleh merokok, meski sudah terdapat ruang khusus untuk merokok. Ya..mungkin mereka mengira bahwa ruang khusus rokok merupakan ruang makan. Hehe.

Perjalanan yang saya tempuh dari Surabaya menuju Mataram, normalnya, memakan waktu sekitar 55 menit. Setelah beberapa kali berputar di udara karena ada tamu VIP dan cuaca buruk yang mengharuskan penumpang untuk kembali ke Surabaya sementara waktu, akhir saya sampai di Bandara Internasional Lombok dengan kondisi yang lelah. Saya menggunakan bis Damri menuju ke hotel dengan biaya Rp. 35.000.
Hari pertama, saya mengunjungi Gili Trawangan dengan biaya tiket penyebarangan Rp. 15.000 dengan waktu tempuh sekitar 45 menit. Harga tersebut merupakan harga publik karena ada harga khusus yang dibandrol Rp. 85.000 dengan waktu tempuh sekitar 5 menit. Bedanya, selain waktu tempuh, penumpang dengan tiket publik pergi bersama dengan penumpang yang mengangkut bahan pangan dan buah-buahan. Sesampainya di Gili Trawangan saya disuguhi dengan biru dan hijunya laut yang menyejukkan mata dan menenangkan hati. Namun perasaan tersebut hilang ketika saya melihat lingkungan di sekitar pulau yang becek. Di Gili tersebut, kita menikmati pulau dengan menyewa sepeda dengan ongkos Rp. 15.000 untuk satu jam dan Rp. 50.000 untuk satu hari. Kita juga bisa naik andong/dokar atau berjalan kaki. Sayangnya, fasilitas bagi pejalan kaki tidak diperhatikan karena tidak ada pedestrian bagi pengunjung yang ingin berjalan kaki dengan aman. Saya memutuskan jalan kaki untuk menikmati pulau tersebut dengan perasaan was was karena takut ditubruk kuda baik dari depan maupu belakang. Setelah selesai menikmati pulau, saya balik ke Lombok dengan naik perahu kategori publik. Sekitar 15 menit menjelang tiba di Lombok, saya merasa pusing karena bau rokok di dalam perahu. Orang-orang dengan bebas merokok dan membuangnya di dalam perahu.

Hari kedua, saya pergi menuju desa Sukarara yang terkenal dengan kerajinan tenun oleh masyarakat sekitar. Saya mengunjungi toko Patuh untuk melihat secara langsung bagaimana mereka menenun, sungguh rumit menurut saya. Sehelai kain dapat memerlukan waktu sekitar satu bulan, tergantung rumitnya pola. Kisaran harganya antara Rp. 300.000 – jutaan, tergantung dari motif dan bahan. Perjalanan dari Senggigi menuju desa tersebut sekitar satu jam dengan menggunakan sepeda motor, saya menyewa sepeda motor dengan biaya Rp. 60.000/hari. Ketika saya sampai, ada seorang guide yang dengan ramah menyapa, menyalami, dan memberikan penjelasan tentang tenun. Saya juga berkesempatan untuk mencoba pakaian adat setempat dan berfoto di sebuah rumah miniatur suku sasak. Tidak ada biaya untuk fasilitas tersbut namun para pengunjung diberikan kesempatan untuk memberikan uang seikhlasnya.


Belajar dari liburan saya ke Lombok, wisata yang dikenal dunia, alangkah indahnya jika pemerintah dan para pengunjung memperhatikan kebersihan sekitar. Hendaknya kita dapat memperhatikan dimana seharusnya kita membuang sampah, kebersihan toilet, dan budaya merokok. Karena jika kita menelaah lebih dalam, apa yang para pengunjung alami ketika mereka berkunjung di tempat wisata akan mereka ceritakan ke orang lain, yang tentunya secara tidak langsung mereka telah mempromosikan wisata tersebut. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah mereka memiliki pengalaman / kesan yang baik terhadap wisata yang mereka kunjungi?