Lombok,
25 Juli 2016
Pada
bulan Juli 2016, saya bersama suami berkesempatan untuk berlibur ke Lombok,
sebuah tempat wisata yang terkenal, baik di Indonesia maupun secara
internasional. Saya menempuh perjalanan dari Puncu, Kediri, Jawa Timur menuju
Bandar udara internasional Juanda, Surabaya menggunakan beberapa trnasportasi.
Dari rumah ke terminal Pare, saya menggunakan sepeda motor dan menitipkannya di
sebuah penitipan sepeda motor. Dari Pare menuju Surabaya, saya naik bis patas,
Rukun Jaya, rute Blitar - Surabaya. Selama berada di terminal Pare, saya
melihat beberapa orang yang dengan bebas merokok di tempat umum. Saya beruntung
karena dapat naik bis patas, meski laju kendaraan tetap pelan, bebas rokok. Sesampainya
di terminal Purabaya, Surabaya, saya sedikit bingung mencari bis Damri yang
akan menuju ke bandara Juanda, Surabaya. Saya bermaksud ingin menerapkan skills
traveling saya ketika di Amerika, yaitu meminimalisir bertanya, namun nampaknya
gagal. Terminal Purabaya tidak menyediakan tanda yang lengkap bagi penumpang yang
ingin bepergian ke bandara Juanda. Saya sempat bertanya ke beberapa petugas dimana
saya dapat menemukan bis Damri. Beberapa petugas mengarahkan saya bahwa saya
perlu “kesana sedikit” dari tempat penurunan penumpang. Sepemahaman saya, “kesana sedikit” dapat
mengarah ke kiri dan ke kanan, utara selatan barat dan timur. Setelah beberapa kali
berputar, akhirnya saya memutuskan untuk bertanya lagi kepada seorang penjual
makanan dan minuman. Dari orang tersebut saya berhasil menemukan lajur bis
Damri. Ternyata, saya hanya perlu ke arah utara atau selang 3 jalur dari tempat
penurunan penumpang. Lagi – lagi, saya menemukan budaya Indonesia yang masih
jauh tertinggal dari bangsa lain, yaitu budaya antri. Untuk mengantri tiket bis
Damri, para calon penumpang sikut sana dan sini untuk berusaha menjadi yang
pertama. Ketika bis datang, pemandangan yang sama juga terjadi. Calon penumpang
yang akan naik sangat tidak memiliki kesabaran untuk naik meski mereka tahu
bahwa banyak sekali para penumpang yang berusaha ingin turun. Alhasil, suasana
berdesak-desakan pun terjadi. Sesampainya saya di bandara Juanda, saya menuju ke
tempat check in pesawat. Selama perjalan menuju tempat tersebut, saya menemukan
banyak sekali orang merokok di tempat yang tidak seharusnya boleh merokok,
meski sudah terdapat ruang khusus untuk merokok. Ya..mungkin mereka mengira
bahwa ruang khusus rokok merupakan ruang makan. Hehe.
Perjalanan
yang saya tempuh dari Surabaya menuju Mataram, normalnya, memakan waktu sekitar
55 menit. Setelah beberapa kali berputar di udara karena ada tamu VIP dan cuaca
buruk yang mengharuskan penumpang untuk kembali ke Surabaya sementara waktu,
akhir saya sampai di Bandara Internasional Lombok dengan kondisi yang lelah. Saya
menggunakan bis Damri menuju ke hotel dengan biaya Rp. 35.000.
Hari
pertama, saya mengunjungi Gili Trawangan dengan biaya tiket penyebarangan Rp.
15.000 dengan waktu tempuh sekitar 45 menit. Harga tersebut merupakan harga
publik karena ada harga khusus yang dibandrol Rp. 85.000 dengan waktu tempuh
sekitar 5 menit. Bedanya, selain waktu tempuh, penumpang dengan tiket publik pergi
bersama dengan penumpang yang mengangkut bahan pangan dan buah-buahan. Sesampainya
di Gili Trawangan saya disuguhi dengan biru dan hijunya laut yang menyejukkan mata
dan menenangkan hati. Namun perasaan tersebut hilang ketika saya melihat
lingkungan di sekitar pulau yang becek. Di Gili tersebut, kita menikmati pulau
dengan menyewa sepeda dengan ongkos Rp. 15.000 untuk satu jam dan Rp. 50.000
untuk satu hari. Kita juga bisa naik andong/dokar atau berjalan kaki. Sayangnya,
fasilitas bagi pejalan kaki tidak diperhatikan karena tidak ada pedestrian bagi
pengunjung yang ingin berjalan kaki dengan aman. Saya memutuskan jalan kaki untuk
menikmati pulau tersebut dengan perasaan was was karena takut ditubruk kuda
baik dari depan maupu belakang. Setelah selesai menikmati pulau, saya balik ke
Lombok dengan naik perahu kategori publik. Sekitar 15 menit menjelang tiba di
Lombok, saya merasa pusing karena bau rokok di dalam perahu. Orang-orang dengan
bebas merokok dan membuangnya di dalam perahu.
Hari
kedua, saya pergi menuju desa Sukarara yang terkenal dengan kerajinan tenun
oleh masyarakat sekitar. Saya mengunjungi toko Patuh untuk melihat secara
langsung bagaimana mereka menenun, sungguh rumit menurut saya. Sehelai kain
dapat memerlukan waktu sekitar satu bulan, tergantung rumitnya pola. Kisaran
harganya antara Rp. 300.000 – jutaan, tergantung dari motif dan bahan. Perjalanan
dari Senggigi menuju desa tersebut sekitar satu jam dengan menggunakan sepeda
motor, saya menyewa sepeda motor dengan biaya Rp. 60.000/hari. Ketika saya
sampai, ada seorang guide yang dengan ramah menyapa, menyalami, dan memberikan
penjelasan tentang tenun. Saya juga berkesempatan untuk mencoba pakaian adat setempat
dan berfoto di sebuah rumah miniatur suku sasak. Tidak ada biaya untuk fasilitas
tersbut namun para pengunjung diberikan kesempatan untuk memberikan uang seikhlasnya.
Belajar
dari liburan saya ke Lombok, wisata yang dikenal dunia, alangkah indahnya jika pemerintah
dan para pengunjung memperhatikan kebersihan sekitar. Hendaknya kita dapat memperhatikan
dimana seharusnya kita membuang sampah, kebersihan toilet, dan budaya merokok. Karena
jika kita menelaah lebih dalam, apa yang para pengunjung alami ketika mereka
berkunjung di tempat wisata akan mereka ceritakan ke orang lain, yang tentunya
secara tidak langsung mereka telah mempromosikan wisata tersebut. Yang menjadi
pertanyaan adalah, apakah mereka memiliki pengalaman / kesan yang baik terhadap
wisata yang mereka kunjungi?