Kamis, 25 Desember 2014

INDONESIA DIMATA AMERIKA


Columbus 24 Desember 2014

Di winter break 2014 saya mendapat kesempatan untuk menginap selama 3 hari dengan keluarga Amerika yang letaknya di pedesaan di daerah Ballefontaine, Ohio. Untuk menuju ke tempat tersebut, saya bersama rombongan menempuh perjalanan sekitar 1,5 jam. Kegiatan ini merupakan kegiatan tahunan yang diadakan oleh sebuah organisasi di Columbus. Dalam kegiatan ini saya berkesempatan untuk berbincang-bincang dengan pemilik rumah yang suka belajar budaya negara lain.

Perbincangan saya dengan keluarga tersebut mencakup beberapa topik tentang budaya Indonesia. Salah satu topik yang saya diskusikan adalah tentang peran wanita di sebuah keluarga. Keluarga tersebut bertanya kepada saya, apakah wanita di Indonesia masih bekerja setelah mereka menikah? Saya menjawab, pada umumnya memang masih bekerja namun ada beberapa dari mereka yang tidak bekerja. Mereka bertanya hal tersebut karena merasa ingin tahu tentang kesetaraan gender di Indonesia. Di Amerika, wanita memang umumnya bekerja, baik sebelum atau setelah menikah. Bahkan terkadang, wanita yang lebih berperan untuk bekerja dan suami membantu pekerjaan istri di rumah seperti memasak. Hal seperti ini yang jarang saya temui di Indonesia, suami memasak dan istri bekerja di luar rumah. Jika ada, hal tersebut kurang banyak dijumpai di budaya Indonesia.


Di kesempatan lain, saya mengobrol dengan keluarga Amerika, tempat dimana saya tinggal, di situ kita berbicara tentang bagaimana kebiasaan mendidik anak di Indonesia. Saya memulai pembicaraan dengan bertanya di usia berapa anak Amerika pada umumnya mandiri. Mandiri dalam arti bahwa mereka mulai keluar dari rumah dan bekerja. Mereka  menjelaskan bahwa pada usia sekitar 17 tahun anak-anak tersebut biasanya mulai keluar rumah atau tidak tinggal bersama orang tua mereka. Pada kasus ini, anak-anak tersebut mulai mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Orang tua mereka masih membantu keuangan meski dengan tidak penuh. Mereka bertanya kepada saya, bagaimana dengan anak Indonesia? Saya menjelaskan bahwa, pada umumnya anak Indonesia pergi keluar rumah di usia 20 ketika mereka harus kuliah (ini adalah contoh yang saya ambil di lingkungan tempat saya tinggal karena di daerah lain mungkin berbeda).  Ada juga yang sudah mulai pergi dari rumah ketika mereka SMA karena jarak sekolah mereka yang jauh dari rumah. Setelah itu, ketika mereka menikah, ada pula keluarga yang masih tinggal bersama dengan orang tua. Hal tersebut sangat jauh berbeda dengan budaya Amerika yang biasanya di usia 17 atau 18 tahun, anak Amerika umumnya tidak tinggal satu rumah dengan orang tua. Dan setelah menikah mereka tinggal dengan keluarga kecil. Mendengar cerita saya, keluarga Amerika tersebut merasa bahwa budaya Indonesia sangatlah manis dan harmonis karena anak masih berada dekat dengan orang tua di usia muda dan bahkan setelah menikah. Mereka berpendapat bahwa jika mereka bisa memilih, mereka akan memilih budaya Indonesia. Alasan utamanya adalah karena mereka ingin anak-anak mereka mendapatkan pengalaman bagaimana pentingnya tinggal dekat bersama dengan keluarga. Menurut keluarga tersebut, anak Amerika memutuskan untuk tinggal ke luar rumah karena hal tersebut merupakan budaya. Orang tua tidak pernah memaksa mereka untuk pergi ke luar rumah. Hanya karena pengaruh budaya dan teman yang membuat mereka harus mandiri.

Di kesempatan lain, ketika saya sedang sarapan, ada seorang wanita muda berusia sekitar 20 tahun yang akan pergi ke Indonesia, Batam, selama beberapa hari sebagai bagian dari kegiatan kuliahnya. Dia sangat antusias untuk mengetahui bagaimana Indonesia dan hal apa saja yang menarik untuk diketahui. Saya menjelaskan bahwa Batam memiliki pantai yang indah. Selain itu, berbicara tentang budaya Indonesia, saya menjelaskan bahwa orang Indonesia pada umumnya bukan merupakan “direct people”. Maksudnya adalah, mereka tidak langsung mengutarakan apa yang mereka inginkan, namun mereka akan mempertimbangkan setelah mendapatkan beberapa tawaran. Contohnya ketika seseorang menawarkan minuman ke teman, mereka biasanya berkata “tidak, terimakasih”. Padahal kenyataanya mereka sangat mau menerima minuman tersebut. Apa yang terjadi kemudian? Mereka biasanya menyesal karena telah menolak. Orang yang menolak biasanya menunggu beberapa kali tawaran sebelum akhirnya mengatakan “iya”. Hal berbeda terjadi di Amerika yang pada umumnya orang Amerika adalah “direct”. Jika kita berkata “tidak” ketika seseorang menawarkan sesuatu, maka kita berarti tidak mau, ataupun kebalikannya. Mendengar penjelasan saya, teman Amerika saya langsung tertawa karena hal tersebut sangat menarik dan unik. Dia pun berkata kepada saya “oh, jadi saya harus berkata Are you sure? Are you sure” sampai beberapa kali ya?” Saya pun juga ikut tertawa melihat ekspresinya.



Mendengar pendapat dari orang Amerika tentang budaya Indonesia, saya merasa tersadar bahwa saya dibesarkan di budaya yang sungguh menghargai arti pentingnya kebersamaan. Pasti semuanya ada sisi positif dan negatifnya. Jika kita akan merasa lebih dekat dengan tinggal bersama keluarga kita, kita pun juga ada kesempatan untuk merasa kurang mandiri dalam menempuh kehidupan. Namun itu semua kembali pada prinsip masing-masing keluarga. Ada yang berpendapat bahwa jika setelah menikah tetap tinggal satu rumah bersama dengan orang tua, kemungkinan terjadi konflik sangatlah besar. Namun, menurut keluarga Amerika, hal tersebut merupakan suatu pelajaran akan bagaimana menyelesaikan konflik dalam keluarga.


           Saya hanya bisa bersyukur karena kedua orang tua saya yang memberikan ijin untuk saya boleh melanjutkan studi ke luar negeri. Hal tersebut merupakan satu keputusan yang tidak mudah yang telah diambil oleh ibu saya, terutama, karena beliau harus merelakan waktu kebersamaan dengan anaknya. Sekarang saya memahami apa pentingnya kebersamaan. Hal tersebut saya dapatkan dari pengalaman saya sejauh ini setelah saya tinggal jauh dari rumah dan mengetahui pendapat orang lain.

Rabu, 10 Desember 2014

FALL 2014 BERAKHIR, Horeee...!!



Ohio Union
Columbus 10 Desember 2014

Tidak terasa bahwa sudah sekitar 5 bulan saya meninggalkan Indonesia untuk belajar di Amerika. Saya merasa waktu berjalan begitu cepat karena sekarang saya sudah berada di penghujung tahun 2014, bulan Desember. Selama masa akhir Fall 2014, saya menemukan hal-hal unik yang sebelumnya saya tidak pernah menemukan.

Di kampus tempat dimana saya menuntut ilmu, kehidupan para mahasiswa sangat diperhatikan oleh pihak kampus. Beberapa organisasi aktif mengadakan kegiatan untuk para mahasiswa dengan tujuan bahwa mereka dapat menikmati kehidupan akademik dengan tidak melupakan belajar. Salah satu kegiatan yang saya ikuti adalah pada pertengahan Fall 2014, pihak kampus menyediakan makan siang atau snack bagi mahasiswa dengan tujuan bahwa mereka dapat menikmati waktu break sejenak di pertengahan semester. Selain itu, memasuki minggu-minggu akhir semester, beberapa pihak kampus menyediakan makan siang secara gratis atau yang dikenal dengan istilah “Reading Day”. Dalam kegiatan ini, mahasiswa dapat mengambil makan dan minum di tengah penatnya waktu belajar untuk menempuh ujian semester. Menu yang disediakan memang tidak terlalu bervariasi namun kegiatan ini sangat membantu para mahasiswa karena mereka mungkin tidak memiliki waktu untuk memasak menjelang ujian semester. Bagi mereka yang tidak makan daging dan para muslim, panitia menyediakan menu vegetarian. Selain itu, di kegiatan yang lain, panitia menyediakan yogurt, kopi, dan kue yang ditujukan untuk para mahasiswa. (dari tadi contoh kegiatannya kok makanan terus ya) :)


 
Hal yang menarik menurut saya adalah selain menu makanan, di salah satu perpustakaan kampus terdapat beberapa ekor anjing yang sangat lucu. Anjing-anjing tersebut disediakan sebagai salah satu cara penghilang stress bagi para mahasiswa yang sedang menempuh ujian.

Sekali lagi saya merasa sangat senang karena pihak kampus benar-benar mendukung para mahasiswa untuk dapat sukses, salah satu kegiatan yang mungkin dapat dijadikan contoh oleh kamps di tanah air. Memang benar bahwa biaya masuk di OSU tergolong mahal namun fasilitas yang didapat juga setara dengan apa yang dikeluarkan. Semoga kampus di Indonesia juga dapat berperan aktif menyediakan kegiatan dan fasilitas untuk kemajuan para mahasiswa dan universitasnya.