Columbus, 13 Januari 2015
Hari ini saya mengikuti salah satu
kelas yang merupakan kelas wajib di Spring 2015. Satu contoh yang dipaparkan
dan menurut saya hal tersebut mengingatkan saya kepada kenangan saya waktu duduk
di SD. Pengalaman dididik! Ya, ada satu pengalaman yang ingin saya bagikan dan mungkin
Anda akan tertawa.
Waktu itu saya baru memasuki
minggu pertama di kelas 1 SD. Sebagai siswa baru, saya berusaha mengikuti
setiap materi yang diajarkan di kelas. Sampai tiba waktunya pelajaran agama
dimulai. Mayoritas agama yang dianut oleh siswa di kelas tersebut adalah
muslim. Waktu itu guru saya mengajarkan materi tentang bagaimana membaca Al Qur’an.
Beliau membaca terlebih dahulu dan para siswa mengikuti. Jaman dulu, guru-guru
selalu menggunakan penggaris untuk menunjuk hal yang sedang dijelaskan di
papan. Penggaris tersebut berguna sebagai alat untuk menunjukkan hal yang
sedang dijelaskan.
Ketika membaca Al Qur’an, para
siswa sangat aktif mengikuti apa yang dikatakan oleh guru tersebut, kecuali
saya. Saya hanya diam dan melihat kegiatan belajar, sampai-sampai…….”tok”!! terdengar
suara penggaris yang cukup keras. Ternyata penggaris tersebut mendarat di
kepala saya. Saya pun yang waktu itu berusia 7 tahun hanya bisa berkaca-kaca
selama beberapa menit. Guru saya bertanya, “kenapa kamu diam saja? Lihat
teman-temanmu yang aktif membaca Al Qur’an.” Saya menjawab, “saya bukan muslim
Pak.” Mendengar penjelasan saya, sang guru tersenyum saja. Tidak ada kata maaf
yang saya dengar dari beliau.
Saya memang tidak mengharapkan
kata maaf karena waktu itu saya hanya berpikir bahwa seorang siswa harus
mengikuti apa yang guru katakan. Namun sekarang saya menyadari bahwa menjadi
guru itu merupakan salah satu model bagi peserta didik. Seorang guru yang
berkata maaf kepada muridya tidak akan kehilangan rasa hormat melainkan dapat
menjadi contoh bagi peserta didik tentang bagaimana mempertanggung jawabkan apa
yang diperbuat.
Semoga dunia pendidikan dapat
lebih baik dengan memahami apa arti mengajar sebenarnya.