Columbus 24 Desember 2014
Di winter break 2014 saya mendapat kesempatan untuk
menginap selama 3 hari dengan keluarga Amerika yang letaknya di pedesaan di
daerah Ballefontaine, Ohio. Untuk menuju ke tempat tersebut, saya bersama
rombongan menempuh perjalanan sekitar 1,5 jam. Kegiatan ini merupakan kegiatan
tahunan yang diadakan oleh sebuah organisasi di Columbus. Dalam kegiatan ini saya
berkesempatan untuk berbincang-bincang dengan pemilik rumah yang suka belajar
budaya negara lain.
Perbincangan saya dengan keluarga tersebut mencakup
beberapa topik tentang budaya Indonesia. Salah satu topik yang saya diskusikan
adalah tentang peran wanita di sebuah keluarga. Keluarga tersebut bertanya
kepada saya, apakah wanita di Indonesia masih bekerja setelah mereka menikah?
Saya menjawab, pada umumnya memang masih bekerja namun ada beberapa dari mereka
yang tidak bekerja. Mereka bertanya hal tersebut karena merasa ingin tahu tentang
kesetaraan gender di Indonesia. Di Amerika, wanita memang umumnya bekerja, baik
sebelum atau setelah menikah. Bahkan terkadang, wanita yang lebih berperan
untuk bekerja dan suami membantu pekerjaan istri di rumah seperti memasak. Hal
seperti ini yang jarang saya temui di Indonesia, suami memasak dan istri
bekerja di luar rumah. Jika ada, hal tersebut kurang banyak dijumpai di budaya
Indonesia.
Di kesempatan lain, saya mengobrol dengan keluarga Amerika,
tempat dimana saya tinggal, di situ kita berbicara tentang bagaimana kebiasaan
mendidik anak di Indonesia. Saya memulai pembicaraan dengan bertanya di usia
berapa anak Amerika pada umumnya mandiri. Mandiri dalam arti bahwa mereka mulai
keluar dari rumah dan bekerja. Mereka
menjelaskan bahwa pada usia sekitar 17 tahun anak-anak tersebut biasanya
mulai keluar rumah atau tidak tinggal bersama orang tua mereka. Pada kasus ini,
anak-anak tersebut mulai mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Orang
tua mereka masih membantu keuangan meski dengan tidak penuh. Mereka bertanya
kepada saya, bagaimana dengan anak Indonesia? Saya menjelaskan bahwa, pada
umumnya anak Indonesia pergi keluar rumah di usia 20 ketika mereka harus kuliah
(ini adalah contoh yang saya ambil di lingkungan tempat saya tinggal karena di
daerah lain mungkin berbeda). Ada juga
yang sudah mulai pergi dari rumah ketika mereka SMA karena jarak sekolah mereka
yang jauh dari rumah. Setelah itu, ketika mereka menikah, ada pula keluarga
yang masih tinggal bersama dengan orang tua. Hal tersebut sangat jauh berbeda
dengan budaya Amerika yang biasanya di usia 17 atau 18 tahun, anak Amerika umumnya
tidak tinggal satu rumah dengan orang tua. Dan setelah menikah mereka tinggal
dengan keluarga kecil. Mendengar cerita saya, keluarga Amerika tersebut merasa
bahwa budaya Indonesia sangatlah manis dan harmonis karena anak masih berada
dekat dengan orang tua di usia muda dan bahkan setelah menikah. Mereka
berpendapat bahwa jika mereka bisa memilih, mereka akan memilih budaya Indonesia.
Alasan utamanya adalah karena mereka ingin anak-anak mereka mendapatkan pengalaman
bagaimana pentingnya tinggal dekat bersama dengan keluarga. Menurut keluarga
tersebut, anak Amerika memutuskan untuk tinggal ke luar rumah karena hal
tersebut merupakan budaya. Orang tua tidak pernah memaksa mereka untuk pergi ke
luar rumah. Hanya karena pengaruh budaya dan teman yang membuat mereka harus mandiri.
Di kesempatan lain, ketika saya sedang sarapan, ada seorang
wanita muda berusia sekitar 20 tahun yang akan pergi ke Indonesia, Batam,
selama beberapa hari sebagai bagian dari kegiatan kuliahnya. Dia sangat
antusias untuk mengetahui bagaimana Indonesia dan hal apa saja yang menarik
untuk diketahui. Saya menjelaskan bahwa Batam memiliki pantai yang indah.
Selain itu, berbicara tentang budaya Indonesia, saya menjelaskan bahwa orang
Indonesia pada umumnya bukan merupakan “direct people”. Maksudnya adalah,
mereka tidak langsung mengutarakan apa yang mereka inginkan, namun mereka akan
mempertimbangkan setelah mendapatkan beberapa tawaran. Contohnya ketika
seseorang menawarkan minuman ke teman, mereka biasanya berkata “tidak,
terimakasih”. Padahal kenyataanya mereka sangat mau menerima minuman tersebut.
Apa yang terjadi kemudian? Mereka biasanya menyesal karena telah menolak. Orang
yang menolak biasanya menunggu beberapa kali tawaran sebelum akhirnya
mengatakan “iya”. Hal berbeda terjadi di Amerika yang pada umumnya orang
Amerika adalah “direct”. Jika kita berkata “tidak” ketika seseorang menawarkan
sesuatu, maka kita berarti tidak mau, ataupun kebalikannya. Mendengar
penjelasan saya, teman Amerika saya langsung tertawa karena hal tersebut sangat
menarik dan unik. Dia pun berkata kepada saya “oh, jadi saya harus berkata Are you sure? Are you sure” sampai
beberapa kali ya?” Saya pun juga ikut tertawa melihat ekspresinya.
Mendengar pendapat dari orang
Amerika tentang budaya Indonesia, saya merasa tersadar bahwa saya dibesarkan di
budaya yang sungguh menghargai arti pentingnya kebersamaan. Pasti semuanya ada
sisi positif dan negatifnya. Jika kita akan merasa lebih dekat dengan tinggal
bersama keluarga kita, kita pun juga ada kesempatan untuk merasa kurang mandiri
dalam menempuh kehidupan. Namun itu semua kembali pada prinsip masing-masing
keluarga. Ada yang berpendapat bahwa jika setelah menikah tetap tinggal satu
rumah bersama dengan orang tua, kemungkinan terjadi konflik sangatlah besar.
Namun, menurut keluarga Amerika, hal tersebut merupakan suatu pelajaran akan
bagaimana menyelesaikan konflik dalam keluarga.
Saya
hanya bisa bersyukur karena kedua orang tua saya yang memberikan ijin untuk
saya boleh melanjutkan studi ke luar negeri. Hal tersebut merupakan satu
keputusan yang tidak mudah yang telah diambil oleh ibu saya, terutama, karena beliau
harus merelakan waktu kebersamaan dengan anaknya. Sekarang saya memahami apa
pentingnya kebersamaan. Hal tersebut saya dapatkan dari pengalaman saya sejauh
ini setelah saya tinggal jauh dari rumah dan mengetahui pendapat orang lain.