Minggu, 08 Desember 2013

DIAJAK PUSING

Puncu, Kediri 5 Desember 2013

Selama proses pendaftaran dan persiapan saya ke luar negeri, saya dipertemukan dengan banyak sekali calon dan orang hebat. Saya masih ingat ketika pada tahun 2012 lalu, saya lolos dalam seleksi beasiswa persiapan keberangkatan ke luar negeri, yang sebenarnya beasiswa tersebut khusus untuk dosen yang sudah memiliki nomor induk nasional. Persiapan tersebut berupa kelas persiapan bahasa dan dunia akademik yang diadakan di Jakarta selama kurang lebih enam bulan. Di tempat itulah saya bertemu dengan seseorang yang memiliki karakter unik namun hebat, yang megajak saya untuk pusing. Hehehe

Persiapan yang saya dapatkan di tempat kursus tersebut adalah persiapan tes IELTS, yang merupakan salah satu persyaratan bahasa internasional bagi setiap siswa yang ingin melanjutkan ke Australia, NZ, dan UK  (meski sekarang banyak negara juga telah menerima IELTS, termasuk Amerika). Waktu itu saya hanya berpikir bahwa Australia lebih dekat (meski dalam hati saya selalu ingin berangkat ke Amerika), jika memungkinkan malah bisa mengajak saudara untuk berkunjung ke negeri tersebut. Tanpa berpikir panjang, akhirnya saya memulai mencari-cari universitas di Australia. Setelah beberapa waktu, akhirnya saya berhasil menemukan beberapa kampus yang sesuai dengan jurusan dan persyaratan bahasa. Namun menjelang satu bulan terakhir di pelatihan tersebut, ada seseorang yang nyeletuk bilang ke saya  waktu sedang berpapasan menuju ruang kecil di perpustakaan “Apa Maretha gak pengen coba kayak saya? kamu harus coba iBT Maretha”

Beliau adalah Bapak M. Syaiful Aris, seorang dosen dari fakultas hukum Universitas Airlangga, Surabaya. Saya masih ingat waktu itu, dengan gayanya yang humoris beliau mengajak saya untuk mencoba tes bahasa internasional selain IELTS, yaitu iBT TOEFL. Saya pun langsung menjawab “gak ah Pak, tambah pusing saya nanti (dengan ekspresi senyum-senyum sembari sedikit kabur ingin melarikan diri)”. Meski sempat beberapa kali saya melihat brosur tentang belajar di Amerika, karena waktu itu saya sudah tidak mau ribet dan pusing-pusing lagi dengan standar bahasa-bahasa yang lain, jadi saya hanya fokus pada IELTS. Ditambah lagi, saya sedikit kecewa karena sudah apply beberapa beasiswa  ke Amerika tapi belum juga berhasil lolos. Tapi kenyataan berkata lain...
List universitas di Australia sudah ada di tangan, dan saya terus mengatakan tidak untuk ajakan Pak MSA (singkatan dari M. Syaiful Aris), sampai akhirnya saya sekarang malah akan berangkat ke Amerika :). Jujur saja, waktu menerima ajakan dari Pak MSA, saya melihat beliau itu jadi malah pusing sendiri, harus berpikir ya IELTS ya iBT. Apalagi ketika saya meminta proofread (membaca untuk menganalisa tulisan) essay saya, beliau menolak dengan alasan tekanan darahnya sedang naik akibat terlalu banyak dan sering belajar di bulan puasa dengan menu berbuka kare. Sampai suatu ketika ada sebuah workshop dari lembaga yang menangani studi di Amerika yang membawa saya menghadapi realita kepusingan.
Mungkin ini yang dinamakan takdir, seberapapun menolak akhirnya tetap menemuinya. Sama halnya dengan saya, seberapapun saya menolak ajakan Pak MSA waktu itu, akhirnya saya harus berhadapan juga dengan pusing memikirkan skor di iBT. Namun sekali lagi, yang namanya sudah kehendakNya, manusia tidak bisa mengelak. Perlahan tapi pasti, skor iBT saya meningkat, dari 78 sampai ke 81. Saya hanya berpikir bahwa dari hasil peningkatan tersebut, itu semua adalah perkara waktu yang mengijinkan kapan saya boleh berangkat ke luar negeri dan dengan beasiswa apa yang akan membawa saya ke sana. Karena ternyata di balik proses mengerjar skor, saya kembali dipertemukan dengan hal-hal baru yang belum pernah saya temui. Selain itu, sebenarnya saya juga telah mendapatkan beasiswa dari pemerintah Indonesia, namun dengan beberapa pertimbangan akhirnya saya memutuskan untuk memberikan jatah tersebut ke pihak lain.

Singkatnya, meski waktu itu saya diajak pusing oleh Pak MSA, akhirnya saya bisa melaluinya. Pusing tersebut membawa saya ke negeri Paman Sam yang ternyata itu adalah mimpi saya sejak kecil untuk dapat belajar di negeri yang jauuuh dari Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, saya juga berhasil mengikuti jejak beliau dengan menjadi salah satu scholar di beasiswa USAID PRESTASI. Ternyata pusing itu membawa hikmah juga ya. :) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar