Puncu, Kediri 5 Desember
2013
Selama proses pendaftaran
dan persiapan saya ke luar negeri, saya dipertemukan dengan banyak sekali calon
dan orang hebat. Saya masih ingat ketika pada tahun 2012 lalu, saya lolos dalam
seleksi beasiswa persiapan keberangkatan ke luar negeri, yang sebenarnya
beasiswa tersebut khusus untuk dosen yang sudah memiliki nomor induk nasional. Persiapan
tersebut berupa kelas persiapan bahasa dan dunia akademik yang diadakan di
Jakarta selama kurang lebih enam bulan. Di tempat itulah saya bertemu dengan
seseorang yang memiliki karakter unik namun hebat, yang megajak saya untuk
pusing. Hehehe
Persiapan yang saya
dapatkan di tempat kursus tersebut adalah persiapan tes IELTS, yang merupakan
salah satu persyaratan bahasa internasional bagi setiap siswa yang ingin
melanjutkan ke Australia, NZ, dan UK (meski sekarang banyak negara juga telah
menerima IELTS, termasuk Amerika). Waktu itu saya hanya berpikir bahwa
Australia lebih dekat (meski dalam hati saya selalu ingin berangkat ke
Amerika), jika memungkinkan malah bisa mengajak saudara untuk berkunjung ke
negeri tersebut. Tanpa berpikir panjang, akhirnya saya memulai mencari-cari
universitas di Australia. Setelah beberapa waktu, akhirnya saya berhasil menemukan
beberapa kampus yang sesuai dengan jurusan dan persyaratan bahasa. Namun
menjelang satu bulan terakhir di pelatihan tersebut, ada seseorang yang nyeletuk bilang ke saya waktu sedang berpapasan menuju ruang kecil di
perpustakaan “Apa Maretha gak pengen coba kayak saya? kamu harus coba iBT
Maretha”
Beliau adalah Bapak M.
Syaiful Aris, seorang dosen dari fakultas hukum Universitas Airlangga,
Surabaya. Saya masih ingat waktu itu, dengan gayanya yang humoris beliau mengajak
saya untuk mencoba tes bahasa internasional selain IELTS, yaitu iBT TOEFL. Saya
pun langsung menjawab “gak ah Pak, tambah pusing saya nanti (dengan ekspresi senyum-senyum
sembari sedikit kabur ingin melarikan diri)”. Meski sempat beberapa kali saya
melihat brosur tentang belajar di Amerika, karena waktu itu saya sudah tidak
mau ribet dan pusing-pusing lagi dengan standar bahasa-bahasa yang lain, jadi
saya hanya fokus pada IELTS. Ditambah lagi, saya sedikit kecewa karena sudah
apply beberapa beasiswa ke Amerika tapi
belum juga berhasil lolos. Tapi kenyataan berkata lain...
List universitas di
Australia sudah ada di tangan, dan saya terus mengatakan tidak untuk ajakan Pak
MSA (singkatan dari M. Syaiful Aris), sampai akhirnya saya sekarang malah akan
berangkat ke Amerika :). Jujur saja, waktu menerima ajakan dari Pak MSA, saya
melihat beliau itu jadi malah pusing sendiri, harus berpikir ya IELTS ya iBT. Apalagi
ketika saya meminta proofread (membaca
untuk menganalisa tulisan) essay saya, beliau menolak dengan alasan tekanan
darahnya sedang naik akibat terlalu banyak dan sering belajar di bulan puasa
dengan menu berbuka kare. Sampai suatu ketika ada sebuah workshop dari lembaga
yang menangani studi di Amerika yang membawa saya menghadapi realita
kepusingan.
Mungkin ini yang dinamakan
takdir, seberapapun menolak akhirnya tetap menemuinya. Sama halnya dengan saya,
seberapapun saya menolak ajakan Pak MSA waktu itu, akhirnya saya harus
berhadapan juga dengan pusing memikirkan skor di iBT. Namun sekali lagi, yang
namanya sudah kehendakNya, manusia tidak bisa mengelak. Perlahan tapi pasti,
skor iBT saya meningkat, dari 78 sampai ke 81. Saya hanya berpikir bahwa dari
hasil peningkatan tersebut, itu semua adalah perkara waktu yang mengijinkan
kapan saya boleh berangkat ke luar negeri dan dengan beasiswa apa yang akan
membawa saya ke sana. Karena ternyata di balik proses mengerjar skor, saya
kembali dipertemukan dengan hal-hal baru yang belum pernah saya temui. Selain
itu, sebenarnya saya juga telah mendapatkan beasiswa dari pemerintah Indonesia,
namun dengan beberapa pertimbangan akhirnya saya memutuskan untuk memberikan
jatah tersebut ke pihak lain.
Singkatnya, meski waktu
itu saya diajak pusing oleh Pak MSA, akhirnya saya bisa melaluinya. Pusing
tersebut membawa saya ke negeri Paman Sam yang ternyata itu adalah mimpi saya
sejak kecil untuk dapat belajar di negeri yang jauuuh dari Indonesia. Tidak
tanggung-tanggung, saya juga berhasil mengikuti jejak beliau dengan menjadi
salah satu scholar di beasiswa USAID
PRESTASI. Ternyata pusing itu membawa hikmah juga ya. :)